NGAWEN,(Fakta9.com)_ _//Setiap memasuki bulan Sura / Muharam masyarakat Kalurahan Kampung, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul menggelar tradisi jamasan Tombak Kyai Totog.
Biasanya, jamasan ini dilakukan tepat pada hari Juma’at Legi di bulan Suro, akan tetapi berhubung bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan RI, maka diganti hari Selasa Kliwon .
“Karena hari Jumat Legi bertepatan 17 Agustus, maka kita konsultasikan dengan sesepuh kampung. Dan dipilih hari Selasa Kliwon (02/08/2022).” Disampaikan oleh Lurah Kampung, Suparna.
Tombak Kyai Totok ini menurut cerita turun-temurun masyarkat Kalurahan Kampung, merupakan pusaka peninggalan masa Majapahit.
Baca Juga : Lestarikan Tradisi Jawa, Warga Gelung Selenggarakan Bersih Sumber
Konon ceritanya, Tombak Kyai Totog ini merupakan peninggalan masa kerajaan Majapahit. Dinana salah satu Istri Brawijaya V, yaitu Roro Resmini saat mengasingkan diri di wilayah Gunungkidul.
“Disini juga terdapat petilasan Roro Resmini.” Terangnya.
Pusaka landeyan dengan panjang 4 meter ini kemudian diwariskan secara turun-temurun, yang sampai saat ini masih terjaga.
Dalam prosesi jamasan ini, diawali adanya arak-arakan tumpeng dan ingkung yang dibawa oleh puluhan masyarakat dengan berpakaian adat jawa lengkap, menuju kerumah ahli waris Brawijaya V.
Karena kesakralannya, sebelum dilakukan pelaksanaan jamasan, ubo rampe persyaratan harus disediakan.
Persyaratan yang disiapkan diantaranya, nasi uduk, ayam (ingkung), pisang raja, kembang wangi, jenang merah putih, jengan baro-baro dan sebagainya.
Kemudian puluhan orang tersebut dengan khidmat mengikuti ritual menghunus pusaka dan mengambil air jamasan dari Sendang Ngawen yang dijuluki Sendang Panguripan, yang dianggap sebagai sendang tertua di wilayah tersebut.
Baca Juga : Tidak Pernah Mengeluh Sakit, Guru SMPN 1 Girisubo Ditemukan Meninggal Dengan Mulut Berbusa
Sebelum memasuki acara inti Jamasan Pusaka yaitu pembersihan Tombak Kyai Totog terlebih dahulu dilaksanakan Sugengan Ageng atau pemanjatan doa, supaya diberikan kelancaran dalam proses jamasan.
Pusaka dibersihkan dengan cairan jeruk nipis agar minyak dan kotoran-kotoran yang menempel pada pusaka selama satu tahun lalu dapat larut.
Setelah itu pusaka disiram dengan air hingga bersih. Saat pusaka telah kering, maka permukaan pusaka diberi warangan dengan cara dioleskan berkali-kali. Warangan yang terbuat dari arsenik bertujuan untuk melindungi pusaka dari karat. Sebagai sentuhan terakhir, pusaka diolesi minyak kelapa yang dicampur dengan minyak cendana.
“Tradisi ini merupakan warisan turun-temurun yang harus kita lestarikan.” Pungkas Lurah Kampung.