PLAYEN,(fakta9.com)–Padusunan Gubukrubuh yang terletak di wilayah Kelurahan Getas, Kapanewon Playen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Memiliki kisah menarik yang belum banyak di ketahui di kalangan masyarakat.
Pasalnya, menurut cerita yang beredar di dalam masyaralat secara turun temurun, asal usul nama Gubugrubuh ini berawal dari kisah pelarian seorang raja dari kerajaan Majapahit.
Alkisah, pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaam besar yang bernama kerajaan Majapahit. Kerajaan tersebut terletak di Trowulan, Jawa Timur. Kala itu Kerajaan ini memiliki kekuasaan yang sangat luas, mulai dari sebelah utara pulau Sumatra, Malaka (saat ini Malaysia), Vietnam, hingga sampai ke Tiongkok.
Majapahit dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Raden Kertabumi yang bergelar Bhatara Wijaya V. Atau biasa dipanggil Brawijaya V.
Prabu Brawijaya V memerintah pada tahun 1469 – 1478 Masehi. Raja yang juga dikenal dengan nama Bhre Kertabumi ini memiliki nama asli Raden Alit. Ia adalah raja Majapahit terakhir dan merupakan putra bungsu dari Prabu Sri Rajasawardhana bergelar Brawijaya II (memerintah sekitar tahun 1451 – 1453 Masehi).
Raja ini mempunyai permaisuri bernama Putri Campa. Seorang Putri yang cantik dan cerdas tersebut adalah persembahan Kaisar Yan Lu
dari Kerajaan Tiongkok pada Dinasti Ming, sebagai tanda persahabatan.
Rupanya, kehadiran Putri Campa tersebut menimbulkan pertentangan di kalangan keluarga istana. Maka, dengan berat hati, Prabu Brawijaya V menghibahkan permaisurinya yang sedang mengandung itu kepada salah seorang putranya, yaitu Arya Damar (adalah putra Prabu Brawijaya V dari salah seorang putri selirnya) yang menjabat sebagai Adipati Palembang.
Putri Campa akhirnya diberangkatkan ke Palembang untuk mendampingi Arya Damar. Tak berapa lama tinggal di disana, Putri Campa melahirkan seorang bayi laki-laki dari hasil perkawinannya dengan Prabu Brawijaya V. Bayi itu diberi nama Jimbun atau yang kelak dikenal dengan Raden Patah.
Setelah melahirkan Raden Patah, Putri Campa kemudian dinikahi oleh Arya Damar dan memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raden Kusen.
Setelah dewasa, Raden Patah ditunjuk untuk menggantikan ayah tirinya, Arya Damar, menjadi Adipati Palembang. Namun, ia menolak dan justru pergi ke Jawa bersama Raden Kusen. Menurut cerita, kedua orang bersaudara tiri ini tiba di pelabuhan Tuban sekitar tahun 1419 M.
Di Jawa, Raden Patah dan Raden Kusen berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Setelah itu, Raden Kusen mengabdi ke Kerajaan Majapahit namun dengan tetap menyembunyikan jati dirinya. Kecakapan Raden Kusen membuat karirnya di Kerajaan Majapahit melesat dengan cepat, hingga dia dipercaya untuk menjabat sebagai Adipati Terung. Sementara itu, Raden Patah pergi ke Jawa tengah untuk membuka hutan dan membangun sebuah pesantren yang diberi nama Pesantren Glagahwangi. Atas kepemimpinannya, pesantren itu semakin lama semakin maju.
Suatu hari, Raden Kusen yang telah menjabat sebagai Adipati Terung mengundang Raden Patah untuk datang ke kediamannya. Ia bermaksud mengajak kakak tirinya itu menemui Prabu Brawijaya V di Kerajaan Majapahit. Namun, ternyata Prabu Brawijaya V belum mengetahui jika Raden Patah adalah anak kandungnya, dan Raden Kusen adalah putra dari anaknya, Arya Damar, yang berada di Palembang.
“Kanda, Raden Patah, sebaiknya kita menemui Ayah kanda di Majapahit,” ujar Raden Kusen.
“Baiklah, terimakasih atar kesediaan adinda. Kanda pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan beliau,” kata Raden Patah.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Setiba disana, Raden Kusen pun memperkenalkan Raden Patah kepada Prabu Brawijaya V.
“Ampun, Baginda Prabu. Hamba menghadap bersama dengan saudara tiri hamba, Raden Patah,” ungkap Raden Kusen kepada Prabu Brawijaya V.
“Lalu apa maksud kedatangan kalian ke sini?” tanya sang Prabu.
“Ampun, Baginda. Perlu Baginda ketahui bahwa Raden Patah ini adalah putra Baginda, sedangkan hamba sendiri adalah anak tiri sekaligus cucu Baginda,” aku Raden Kusen.
“Apa katamu?” kata Prabu Brawijaya tersentak kaget. “Hai, kalian jangan mengaku-aku sebagai putraku!”
“Benar. Saya ini putra ini Bagind,” sahut Raden Patah.
Prabu Brawijaya pun semakin bingung. Ia merasa bahwa dirinya tidak mempunyai putra yang bernama Raden Patah. Setelah Raden Patah dan Raden Kusen menceritakan asal usul mereka bahwa mereka adalah anak dari Putri Campa, barulah Prabu Brawijaya mulai percaya.
“Tapi, bukankah ibunda kalian ada di Negeri Palembang? Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? “tanya Prabu Brawijaya.
Raden Patah dan Raden Kusen pun menceritakan kisah perjalanannya dari Palembang hingga tiba ke Jawa. Mendengar cerita itu pun Prabu Brawijaya semakin percaya dan akhirnya mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat menjadi Bupati Glagahwangi yang kemudian berganti nama menjadi Demak dengan ibukota di Bintara.
Menurut cerita, Raden Patah pindah dari Surabaya ke Demak sekitar tahun 1475 M. Dengan dibantu pamannya, Pangeran Sabrang Lor, Raden Patah mengembangkan Demak Bintoro menjadi pelabuhan dagang yang ramai. Dalam waktu singkat, para pedagang muslim dari Cina pun banyak yang menetap di daerah itu, terutama Semarang, Lasem, Juwana, dan Tuban. Dua tahun kemudian, Raden Patah yang telah dinobatkan menjadi Sultan Demak menakluhkan Semarang yang termasuk wilayah bawahannya.
Mendengar kabar tersebut, Prabu Brawijaya V pun mulai khawatir kalau putranya itu akan memberontak. Ketika itu, Raden Patah memang berniat untuk menyerang Kerajaan Majapahit dan mengislamkan ayahandanya beserta seluruh rakyat. Namun, ketika niat itu disampaikan kepada Sunan Ampel, sang Sunan justru menasehatinya.
“Jangan, Den! Sebaiknya Raden jangan memberontak pada Kerajaan Majapahit!” ujar Sunan Ampel kepada Raden Patah. “Walaupun berbeda agama, Prabu Brawijaya tetaplah ayahanda Raden.”
Raden Patah pun mengurungkan niat tersebut. Namun, setelah Sunan Ampel meninggal dunia, Raden Patah akhirnya menyerang Kerajaan Majapahit. Dalam serangan tersebut, Prabu Brawijaya dan pasukannya kalah.
Oleh karena malu diajak putranya masuk Islam, ia bersama sejumlah pengikutnya melarikan diri hingga ke daerah barat hingga tiba di wilayah Gunungkidul yang terletak dibagian selatan Yogyakarta. Sang Prabu tidak berani melarikan diri ke utara karena daerah itu sudah dikuasai oleh tentara Demak dan di pantai utara Jawa telah dihuni oleh para pedagang muslim. Raden Patah yang mengetahui pelarian ayahandanya pun mengejarnya karena menginginkan sang ayah masuk agama Islam.
Sementara itu, Prabu Brawijaya V bersama pengikutnya yang sudah tiba di Gunungkidul terus menyusuri hutan lebat. Suatu ketika, sejumlah pengikut sang Prabu berhenti di sebuah gubuk yang berada di tengah hutan untuk beristirahat karena kelelahan. Namun tanpa mereka sadari, ternyata Raden Patah beserta pasukannya telah sampai di tempat itu.
Ketika mereka sedang asyik beristirahat di gubuk itu, tiba-tiba pasukan Raden Patah datang menyergap. Akhirnya, pasukan Prabu Brawijaya V pun menyerah dan menjadi pengikut Raden Patah, sedangkan sang Prabu telah berhasil meloloskan diri. Atas nasehat Sultan Demak itu, pasukan Prabu Brawijaya yang tertangkap itu pun masuk agama Islam. Di gubuk itu mereka diajari cara melaksanakan sholat.
Sejak itu, daerah tersebut diberi nama Dusun Gubukrubuh, yang diambil dari kata gubuk yaitu tempat pertama kali mereka melaksanakan sholat, dan kata rubuh yang berarti runtuh memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara fisik dan secara batin. Secara fisik kata rubuh diartikan sebagai rubuhnya badan pada saat sholat, dari posisi berdiri ke posisi rukuk, kemudian ke posisi sujud. Secara batin, rubuh diartikan sebagai runtuhnya iman dan keyakinan mereka dari keyakinan agama Hindu menjadi keyakinan agama Islam.
Sementara itu, Prabu Brawijaya V yang berhasil melarikan diri tiba di pantai selatan Gunungkidul. Disana ia mengalami kebuntuan dan tidak tahu harus berlari kemana lagi karena terhalang oleh Laut Selatan. Sang Prabu pun merasa bahwa barangkali hidupnya hanya sampai disitu. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan membakar diri hingga tewas karena seluruh tubuhnya kobong atau terbakar. Oleh masyarakat setempat, pantai tempat Prabu Brawijaya membakar diri dinamakan Pantai Ngobaran, yang diambil dari kata kobar atau kobong.
Demikian cerita rakyat tentang asal mula dusun Gubukrubuh dari Gunungkidul yang pernah di ceritakan oleh salah seorang sesepuh desa yang tinggal di dusun tersebut. Namun seperti apa kebenaranya cerita tersebut masih belum di ketahui secara pasti.
Dikatakan bahwa sebelumnya para ulama dan pemerintah setempat juga pernah berkeinginan mengganti nama dusun itu dengan Sumber Mulyo, namun masyarakat setempat menolaknya, sehingga nama dusun Gubukrubuh tetap dipakai hingga sekarang.
Sebuah dusun yang berada di ujung barat Kabupaten Gunungkidul ini pendidikan agama Islam pun berkembang dengan pest. Terdapat berbagai jenjang pendidikan yaitu mulai dari tingkat PAUD, Taman Kanak-kanak, Madrasah Ibtida’iyyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, hingga pondok pesantren.
Tidak mengherankan jika dusun ini menjadi kebanggaan kelurahan Getas karena satu-satunya kelurahan di Gunungkidul yang seluruh penduduknya beragama Islam adalah kelurahan Getas.
Sumber: Pak Samsuni